Reformasi Jilid II ? Itu Ilusi

oleh
oleh

Jakarta – Aksi Bela Rakyat 121 Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (Bem SI) kembali mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh. Hal itu menyusul dengan seruan adanya reformasi jilid II oleh Bem SI.

Pengamat dan pemerhati dari Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai himbauan untuk melakukan gerakan reformasi jilid II akan sulit terwujud jika prasyarat untuk terjadinya gerakan reformasi tidak terpenuhi. Menurutnya, pihak-pihak yang menghendaki adanya reformasi jilid II terlalu bermimpi.

“Menurut hemat saya prasyaratnya belum terpenuhi. Situasi sosial dan ekonomi saat ini masih relatif normal,” ujar Karyono hari ini.

Lebih lanjut, Karyono mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stabil di kisaran 5 persen. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia berada di urutan ketiga setelah India dan Tiongkok. Bahkan nilai mata uang relatif stabil di kisaran 13.300 per dollar AS. Jumlah penduduk miskin relatif berkurang sedikit jika dilihat dari Maret 2016 sampai September 2016. Posisi di bulan Maret jumlah penduduk miskin 10,86 persen turun menjadi 10,7 persen.

Pengamat Politik IPI Karyono Wibowo
Pengamat Politik IPI Karyono Wibowo

“Lalu apa yang dijadikan dasar untuk melakukan reformasi? Kalaupun ada kenaikan harga beberapa komoditas seperti cabe, kenaikan tarif listrik, biaya atministrasi STNK, BPKB, dll itu belum cukup sebagai syarat terjadinya gerakan reformasi jilid II karena fundamental ekonomi saat ini masih cenderung kuat,” sebut dia.

Dikatakannya, kesenjangan sosial yang ada juga belum cukup menjadi pemicu gerakan reformasi. Jadi, katanya, pihak-pihak yang menghimbau untuk melakukan gerakan reformasi jilid II nampaknya kurang memahami anatomi gerakan. Sehingga menurutnya himbauan gerakan reformasi jilid II terjadi dalam waktu dekat ini hanya ilusi seorang pemimpi.

Namun demikian, sambung Karyono, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem demokrasi memang menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat termasuk kritik terhadap jalannya pemerintahan.

“Karenanya, boleh saja BEM SI melakukan aksi sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Jokowi – JK. Namun aksi tersebut hendaknya disertai solusi, bukan sekadar orasi yang memaki-maki,” sesalnya.

Lebih lanjut, Karyono memandang pola dan paradigma gerakan mahasiswa sudah saatnya berubah. Pertama, kata dia, perlu memahami situasi dan kondisi dan permasalahan yang tengah dihadapi bangsa ini. Kedua, perlu mengenali siapa sejatinya musuh bangsa ini. Ketiga, melakukan kritik berbasis data yang akurat, bukan berbasis rumor dan sinisme. Keempat, perlu mengedepankan model dialog dan memberikan konsep yang bisa ditawarkan sebagai solusi. Kritik boleh saja disampaikan dalam bentuk aksi massa tetapi itu jalan terakhir apabila cara melalui dialog mengalami kebuntuan.

“Bentuk aksi massa merupakan opsi terakhir apabila saluran untuk menyampaikan aspirasi sudah tersumbat,” ucapnya.

Masih kata dia, mahasiswa hendaknya juga memahami apa makna massa aksi dan aksi massa. Terakhir, belajarlah dari pemikiran Bung Karno dan Tan Malaka tentang massa aksi.

“Pengertian massa aksi bukan sekadar kumpulan atau segerombolan orang yang melakukan demonstrasi turun ke jalan, amuk-amukan membabi buta, tetapi massa aksi yang terorganisir bergerak bersama-sama rakyat yang dilandasi oleh kesadaran kolektif dan terorganisir serta memiliki tujuan yang sama untuk menjebol tatanan lama menggantikan yang baru yang lebih baik,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.